Synopsis :
Wilayah Indonesia terdiri dari area yang sangat luas, sehingga tidak semua wilayah dapat ditangani dengan sebaik-baiknya, begitu pula para penduduk yang mendiami daerah tersebut. Salah satunya adalah dusun Badat Baru di wilayah Entikong, Kalimantan. Dusun Badat Barut terletak di dekat perbatasan wilayah Republik Indonesia dengan Malaysia. Dapat dikatakan tidak ada akses jalan darat menuju ke sana. Di dusun tersebut terdapat sebuah sekolah dasar, yaitu SDN Badat yang hanya ditangani oleh seorang guru, yaitu Guru Martini. Guru Martini dapat dikatakan bertindak sebagai staf pengajar, kepala sekolah, juru-kunci dan pesuruh selama 8 tahun. Guru Martini tinggal di desa Semangit. Untuk pergi mengajar, Guru Martini harus melalui jalan sungai selama 8-12 jam, melewati 15 riam, termasuk Riam Pelanduk. Di riam tersebut, para penumpang perahu harus turun dan ikut mendorong perahu agar dapat melalui riam. M. Lizet, kepala dusun Badat Baru juga menyatakan kesulitan hidup di sana. Begitu juga Mantri Kusnadi yang sulit mendapatkan pasokan obat. Pasokan dari wilayah Indonesia dapat dikatakan hamper tidak mungkin. Satu-satunya cara adalah mendapatkan pasokan dari wilayah Malaysia. Sehingga di sana banyak terdapat pelintas batas tradisional. Di dusun Sapit, pala pelintas batas tersebut bertemu untuk saling menukar atau berbelanja. Shelly adalah adik M. Lizet yang telah menikah dengan warga Malaysia dan tinggal di Kuching. Secara materi dan fisik, kehidupannya jauh lebih nyaman. Dengan berkendara mobil, Shelly melintasi jalan-jalan mulus di kota Kuching. Jika situasi seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin para penduduk di sepanjang perbatasan akan lebih merasa sebagai warga negeri orang daripada negeri sendiri, padahal mereka sebenarnya sangat loyal pada negeri Republik Indonesia. Sampai kapan hal ini terus berlangsung?